Selasa, 04 Oktober 2011

Sejarah Sekolah Minggu

Sekolah minggu merupakan kegiatan bersekolah yang diadakan pada hari minggu didalam gereja yang ditujukan untuk anak-anak. Banyak denominasi gereja yang mengajarkan pelajaran keagamaan di dalam Sekolah Minggu. Bisa dikatakan sekolah minggu adalah wadah pendidikan anak-anak Kristen. Tujuan akhir dari sekolah minggu sendiri ialah menjadikan anak-anak berakhlak mulia (moral yang baik) sesuai dengan ajaran Kristus (Alkitab).
Tujuan akhir dari pengaajaran sekolah minggu ini telah muncul dari sebuah gagasan seorang wartawan Inggris yang sesungguhnya telah ada di Alkitab. Wartawan ini bernama “Robert Raikes” ia dikenal sebagai bapak sekolah minggu. Berawal dari sebuah perasaan iba terhadap kelakuan anak-anak nakal di hari minggu,maka tercipta suatu sejarah yang sangat fenomenal.  
Apabila melihat lebih jauh kedalam tentang sejarah sekolah minggu sesungguhnya embrio pendidikan anak telah ada sejak zaman PL. Pengajarannya dimulai di lingkungan keluarga orang yahudi pada zaman Musa (Ul. 6:4-7). Tujuannya pun juga sama dengan gagasan yang muncul dalam benak Raikes pada waktu revolusi industry di Inggris terjadi.
Dimana pada waktu itu merupakan masa transisi dari tenaga manusia ke tenaga mesin uap. Masa ini memaksa anak-anak meninggalkan bangku sekolah hanya untuk bekerja dengan gaji yang sangat minim.  Sehingga hal itu membuat aklhak anak-anak menjadi rusak karena orang tuapun juga sibuk dengan mencari nafkah. Justru dalam kondisi yang memprihatinkan ini tangan Tuhan bekerja dengan luar biasa sehingga tercipta sejarah sekolah minggu.

A.    Embrio Sekolah Minggu
Sebelum muncul istilah sekolah minggu pendidikan anak  sudah berjalan sejak zaman PL. Embrio sekolah minggu itu sudah nampak dalam Ul. 6:4-6 yang bisa dikatakan sebagai dasar pendidikan anak. Menurut ALkitab pendidikan anak pada masa Musa itu sepenuhnya dilakukan dalam lingkungan keluarga. Sejak sebelum usia 5 tahun anak telah dididik oleh
orang tuanya untuk mengenal Allah Yahweh.[1]
Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah sinagoge dimana mereka dapat belajar Firman Tuhan kembali, termasuk diantara mereka adalah anak-anak kecil. Orangtua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah 5 tahun ke sekolah di sinagoge. Di sana mereka dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru adalah fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.[2]
Ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru. [3] Pada masa Perjanjian Baru tradisi ini juga masih berjalan dan Yesus juga pernah menikmati pengajaran didalam Sinagoge. Bahkan pada masa rasul-rasul, tradisi pendidikan anak masih tetap berlangsung (1 Timotius 3:15). Namun proses pendidikan anak perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di Sinagoge tetapai sudah mulai di gereja tempat jemaat berkumpul.[4]
       Dari berbagai sumber yang ada terlihat jelas bahwa embrio sekolah minggu sudah ada sejak masa PL maupun PB. Hanya saja karena adanya pergeseran decade maka pendidikan anak mulai tersisih.
B.     Lahirnya Sekolah Minggu
Pra-Sekolah Minggu
Berawal dari perkembangan teknologi yang menyebabkan pergeseran tenaga kerja manusia ke tenaga mesin uap. Penemuan mesin uap  yang seharusnya menjadi dampak yang positif ternyata justru sebaliknya. Mungkin bagi para pengussaha hal ini merupakan dampak yang positif namun bagi kaum miskin menjadi suatu dampak yang negatif.
Masa perkembangan ini lebih dikenal dengan istilah “Revolusi Industri” dan revolusi ini berpusat di Inggris pada pertengahan abad ke-18. Revolusi industri memaksa para orang tua bekerja mati-matian untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan yang lebih menyedihkan ialah anak-anak terpaksa meninggalkan zona yang semestinya mereka berada yaitu sekolah. Karena kebutuhan ekonomi akhirnya para anak-anak bekerja di pabrik-pabrik dengan upah yang minim. Mereka kehingan masa-masa yang seharusnya mereka bisa bercanda dan bermain bersama keluarga dan teman.
Tentunya hal ini melahirkan tingkat criminal di Inggris terus meningkat yang sangat mempengaruhi generasi bangsa. Akan tetapi pada waktu itu perintahan di Inggris hanya terfokus pada pemberantasan dan memberikan hukuman tanpa mencari tahu penyebab utamanya. Padahal penyebab utamanya ialah tidak adanya pendidikan anak yang layak. Karena pendidikan anak itu sangatlah penting untuk perkembangan moral dan intelektual bagi si anak itu sendiri.
Dan ini membuat hati  seorang wartawan media cetak di Gloucester Inggris tergerak untuk menyelesaikan masalah ini. Ia adalah “Robert Raikes”. Awalnya ia hanya terfokus pada para narapidana yang dipenjara. Karena terlalu tinggi tingkat kriminalnya menyebabkan penjara itu penuh. Raikes mengambil langkah dengan cara melakukan pendekatan langsung dan ia juga mengambil beberapa persen hasil penjualan korannya untuk biaya para narapidana. Bagi Raikes narapidana di Gloucester ini adalah korban atas revolusi industri.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Raikes akan tetapi ia juga melakukan Kritik kepada pemerintah melalui surat kabar yang dicetaknya. Bahkan Adam Smith “rasul” Kapitalisme juga meluncurkan kritikan terhadap pemerintah Inggris. Dalam karangannnya yang termasyhur yaitu “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation”, ia berdalil bahwa kekayaan Inggris terdiri atas tenaga kerja  dan bukan beratnya  emas dan juga tidak pada kekayaan yang berporos pada sejumlah hektar lahan yang dimilkinya. Kata Smith “setiap orang cenderung mencari keuntunganya sendiri”.[5]Namun usahanya tetap tidak di perhatikan oleh pemerintah.
Akan tetapi usaha Robert Raikes ini membuahkna hasil meskiun tidak maksimal. Yaitu ada beberapa narapidana yang keluar telah bertobat, tapi hal itu belum menyelesaikan masalah. Karena inti masalahnya belum diketahui.
Berdirnya Sekolah Minggu
Hingga suatu hari Rakes menemukan masalah utamanya yaitu pendidikan anak. Hal ini berawal ketika hari minggu Raikes sedang dikantor dan melihat anak-anak yang rebut dari jendela kantonya. Waktu Raikes terkejut karena kelakuan mereka sangatlah buruk dan suka mengolok teman.[6] Dari kejadian ini Tuhan menunjukkan kepada Raikes apa yang mesti dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi di Inggris. Akhirnya munculah gagasan Raikes untuk memberikan pengajaran bagi mereka. Namun karena kesibukan Raikes kesulitan untuk mengajarkan mereka.
Namun rasa yang iba setelah melihat para anak-anak berkerja selama 6 hari dengan gaji yang minim telah menjadi motivasi yang kuat. Karena kuatnya motivasi ini membuat Raikes memiliki gagasan untuk membayar seorang ibu Meredith  di kota Scooty Alley untuk mendidikan beberapa anak di sekolah sederhana Raikes. Awalnya anak-anak diajarkan sopan santun, kebersihan, membaca, menulis, dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya mulai diajarkan ajaran-ajaran Alkitab. Namun guru itu akhirnya menyerah karena tidak mampu mengajar mereka. Tapi muncullah seorang guru yang ke-2 yang bernama Ibu Crithchey. Ia lebih pintar dan jabatan guru turun temurun terus.
Aturan pun akhinya dibuat pelajaran dimulai jam 10:00 – 12:00 pulang makan siang dan pukul  13:00 – 17:00 pelajaran dilanjutkan kembali. Ternyata hasilnya positif jumlahnya semakin meningkat dan moral mereka semakin membaik. Dalam pengajarannya Raikes lebih menekankan pada moral atas dasar Alkitab.
Akhirnya Raikes membuatnya di gereja “Saint Mary de Crypt”. Dan teman Raikes yang bernama Thomas Stock, pendeta “Saint John the Baptist” yang merangkap jabatan kepala sekolah Katedral di Gloucester, menjelaskan bahwa gagasan dan pendirian sekolah minggu pertama terjadi didalam jemaatnya sendiri sebagai usaha kerja sama antara ia dengan Raikes. Demikianlah isi surat yang dikirmnya di surat kabar.[7]
Sekolah minggu yang telah berkembang ini mendapat kecaman keras dari para pengusaha karena mereka takut kalau buruhnya akan pergi dari pabriknya. Meraka juga mencari-cari kesalahan dengan jalan bahwa Raikes bukan orang saleh karena ia bekerja di hari sabat. Namun Raikes telah menepisnya dengan ayat Firman Tuhan (Mrk.2:28 ; Mat. 12:12).[8]
Namun hal itu tidak menyurutkan usaha Raikes untuk lebih mengembangkan Sekolah minggu. Salah satu langkah Raikes ialah dengan surat kabarnya. Dan akhirnya sekolah minggu justru semakin berkembang. Dalam waktu empat tahun sekolah yang diadakan pada hari Minggu itu semakin berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris. Dan jumlah anak-anak yang datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.
Ketika Robert Raikes meninggal dunia tahun 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Gerakan di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika.[9]
            Namun yang lebih mengesankan ialah angka kejahatan di Inggris menurun drastis dan hal inilah yang menyebabkan usaha Raikes ini mendapat dukungan yang banyak dari masyarakat.

C.    Tokoh Sekolah Minggu “Robert Raikes
Robert Raikes (lahir 14 September 1736 – meninggal 5 April 1811 pada umur 74 tahun) adalah seorang dermawan Inggris yang dikenal sebagai bapak pendiri Sekolah minggu. Ia lahir di Gloucester pada 1736, anak sulung dari Mary Drew dan Robert Raikes seorang penerbit surat kabar. Dia dibaptis pada tanggal 24 September 1736 di gereja St. Mary de Crypt di Gloucester. Pada 23 Desember 1767 dia menikah dengan Anne Trigge dari keluarga yang sangat terhormat, dan dikaruniai tiga anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.
Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah milik Gereja St. Mary de Crypt tempat ia dibaptiskan. Setelah lulus pendidikan dasar, pada usia empat belas tahun ia melanjutkan studi di sekolah Katedral Gloucester. Suasana sekolah ini begitu ketat. Anak-anak dididik dengan kurikulum yang klasik. Pada pukul enam pagi, mereka mengawalinya dengan ibadah. Ibadah dimulai dengan pembacaan mazmur, doa, renungan, dan nyanyian rohani. Di sekolah ini, para murid dituntut menguasai beberapa bahasa, antara lain bahasa Yunani, Latin, dan Prancis.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Katedral Gloucester, Raikes tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lebih tertarik pada pekerjaan yang digeluti ayahnya di bidang percetakan. Pada 1757 ia diwariskan perusahaan milik ayahnya yakni Gloucester Journal. Karena kemampuannya di bidang penerbitan dan percetakan, pada usia 21 tahun, ia telah mengambil alih seluruh urusan yang berkaitan dengan penerbitan Gloucester Journal.
Robert Raikes dikenal sebagai penggagas sekolah minggu. Pada abad 18, Inggris sedang dilanda krisis ekonomi yang sangat parah sebagai akibat Revolusi Industri. Robert Raikes melihat banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar, dan bekerja enam hari dalam seminggu, yaitu pada hari senin hingga sabtu. Hari minggu mereka libur. Karena hanya pada hari minggu saja mereka bisa beriang gembira, sehingga pada hari minggu mereka menjadi liar. Kebanyakan mereka menghabiskan uang penghasilan mereka dengan hal-hal yang tidak berguna seperti minum minuman keras.
Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia kemudian memulai sekolah minggu ini di dapur Ny. Mederith di kota Scooty Alley pada Juli 1780. Di sana selain mendapat makanan, anak-anak itu juga diajarkan sopan santun, membaca, dan menulis. Menurut Raikes buku pelajaran yang terbaik yang bisa dipakai adalah Alkitab. Dalam dua tahun, sekolah minggu dibuka di beberapa sekolah dan di sekitar Gloucester. Raikes kemudian mempublikasikan sekolah minggu melalui Gentleman's Magazine, dan juga Arminian Magazine pada 1784. Akhirnya atas bantuan John Wesley (pendiri Gereja Methodis), kehadiran sekolah minggu diterima juga oleh gereja, mula-mula oleh Gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja Protestan lain. Pada tahun 1831, sekolah minggu di Inggris telah mengajar 1.250.000 anak, sekitar 25 persen dari populasi.[10]
D.    Perkembangan Sekolah Minggu
Melihat keberhasilan Raikes, gereja kemudian mengambil alih model pelayanan itu menjadi pekabaran Injil. Di abad ke-20 muncul bahan mengajar pelajaran sekolah minggu yang berjenjang, dan mulai terjadi pergeseran dari maksud utama untuk pekabaran Injil menjadi ajang pembinaan. Gereja memakai pembinaan ini menjadi alat yang efektif dalam mengarahkan anak-anak kepada Kristus.
Akhir abad ke-19 sampai awal ke-20, muncul kesadaran untuk menangani Sekolah minggu secara lebih professional. Ilmu pendidikan mulai diterapkan. Pada tahun 1922 berdirilah “Internasional Sunday School Council of Religious Education”, yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi “The Internasional Council of Religious Education”. Dengan berdirinya ke 2 lembaga tersebut, Sekolah minggu menjadi semakin maju, dengan teori-teori pendidikan yang modern, yang lebih berpusat pada anak dan bukan lagi berpusat pada guru.[11]
Kesimpulan
Berawal dari revolusi Industri yang membuat pola hidup di Inggris berubah drastis. Dari tenaga kerja manusia dan hewan manjadi tenaga mesin. Hal ini menimbulkan masalah bagi kaum buruh yang mengakibatkan para anak-anak tidak bisa bersekolah. Sehingga mereka mengalami kemerosotan moral.
Dari peristiwa inilah Raikes memilki gagasan untuk memperbaiki moral mereka. Karena telah terjadi peningkatan krimanalitas di Inggris. Dan untuk menyelesaikannya Raikes membuat sekolah minggu dengan dasar pengajarannya dari Alkitab. Sekolah minggu itu akhirnya berhasil merubah pola hidup mereka yang kurang bermoral.
Akhirnya Sekolah Mnggu itu terus dikembangkan di gereja-gereja berbagai denominasi. Sampai sekarang sekolah menjadi dasar fondasi hirarki sebuah gereja.


[1] G:\PEPAK _ Pustaka _ Sejarah Sekolah Minggu.htm
[2] G:\sejarah-sekolah-minggu.html
[3] www.wikipedia-indonesia /sejarah sekolah minggu.com
[5] Boehlke R Robert, Ph.D. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Penerbit PT BPK GUNUNG MULIA. Cetakan ke-3 2005. Hal377
[6] Boehlke R Robert, Ph.D. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Penerbit PT BPK GUNUNG MULIA. Cetakan ke-3 2005. Hal 383
[7] Boehlke R Robert, Ph.D. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Penerbit PT BPK GUNUNG MULIA. Cetakan ke-3 2005. Hal 385
[8] Boehlke R Robert, Ph.D. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. Penerbit PT BPK GUNUNG MULIA. Cetakan ke-3 2005. Hal 392
[11] Pdt. Drs. Lie Paulus.Mereformasi Sekolah Minggu.penerbit ANDI offset, cetakan ke-6 2006 hal111-110

Intelegency


Sering kita mendengar bahwa IQ atau kecerdasan menjadi patokan cerdas tidaknya seseorang. IQ juga menjadi syarat untuk memasuki dunia sekolah ataupun pekerjaan, tentu saja dengan jumlah IQ di atas rata-rata. Kata intelegensi berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain, sedangkan pengertian intelegensi memberikan bermacam-macam arti.

            Ada yang mendefisinikan intelegensi sebagai daya atau kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir (otak) yang dimilikinya. Di sini dapat kita lihat bahwa kecerdasan erat kaitannya dengan masalah penyesuaian diri terhadap masalah yang dihadapinya. Orang yang memiliki intelegensi tinggi akan lebih cepat dan lebih tepat di dalam menghadapi masalah-masalah baru bila diban  dengan sebuah alat yang disebut dengan tes intelegensi (tes IQ). Seorang ahli psikologi menggolongkan IQ sebagai berikut: kecerdasan rata-rata dengan angka IQ 90-109; di atas rata-rata dengan angka IQ 110-119; cerdas dengan angka IQ 120-129; dan IQ di atas 130 untuk kategori jenius (cerdas sekali).

            Dalam dunia pendidikan dan pengajaran masalah inteligensi merupakan salah satu masalah pokok; karenanya tidak mengherankan kalau masalah tersebut banyak di kupas orang, baik secara khusus maupun secara sambil lalu dalam pertautan dengan pengupasan yang lain. Tentang peran inteligensi itu dalam proses pendidikan ada yang menganggap demikian pentingnya sehingga di pandang menentukan dalam hal berhasil dan tidaknya seseorang dalam hal belajar; sedang pada sisi lain ada juga yang menganggap bahwa inteligensi tidak lebih mempengaruhi soal tersebut. Tetapi pada umumnya orang berpendapat, bahwa inteligensi merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang; terlebih-lebih pada waktu anak masih sangat muda, inteligensi sangat besar pengaruhnya.

Definisi-definisi Intelegency
Claparde dan Stern mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
David Wechster (1986). Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif
William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut: intelegensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya.
William Stern berpendapat bahwa intelegensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan, pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang.
                                               
Sumber:

  1. Nur Rokhmah Hidayati dan Yahya Mashum PKBI DI Yogyakarta dan PKBI Pusat
  2. Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan; (PT Raja Grafindo, : 2004).
  3. Irwanto dkk, Psikologi Umum (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 166

KENALILAH DAN ARAHKANLAH MEREKA (LANGKAH-LANGKAH DALAM MEMBINA MUDA-REMAJA)

KENALILAH DAN ARAHKANLAH MEREKA
(LANGKAH-LANGKAH DALAM MEMBINA MUDA-REMAJA)

PENDAHULUAN
            Pengajaran dan pembinaan (PAK) muda-remaja didalam gereja sangatlah pentingDikatakan penting karena mereka adalah generasi penerus gereja selanjutnya.Akan tetapi dalam membina mereka tidaklah mudah,karena pada fase ini mereka mengalami banyak perubahan.Perubahan inilah yang perlu diarahkan kearah yang positif (sesuai dengan kehendak Tuhan).Apabila pembinaan ini diabaikan bisa jadi gereja tidak memiliki generasi dan bahkan muda-remaja akan kehilangan arah tujuan pasti.
            Pada fase perubahan dari masa kanak-kanak menuju kearah fase kedewasaan,merupakan fase yang menentukan masadepannya.Ada istilah “satu langkah kedepan,ribuan langkah menanti didepan”.Seperti istilah itulah yang sedang dihadapi mereka pada masa transisi mereka.Oleh sebab itu selain orang tua,gereja juga wajib ikut ambil bagian dalam mengarahkan langkah mereka untuk mencapai masa depan yang cemerlang.
            Terkadang mereka hanya mementingkan kesenangan dalam hal negative dan belum begitu mengindahkan masa depannya diperlukan pembinaan khusus.Dan untuk membina mereka,maka Pembina/pengajar haruslah mengetahui seluk-beluk muda-remaja yang dibinanya.Dimana dengan mengetahui seluk-beluk mereka (psikologinya,problematikanya,apa yang diperlukan,dll) akan memudahkan Pembina untuk menentukan metode yang efektif.Sehingga melalui metode yang efektif Pembina bisa mengantisipasi dan mengarahkan mereka kedalam  rel yang sudah ditentukan oleh Tuhan.Sehingga menumbuhkan jiwa yang selalu rindu untuk beribadah dan masa depan yang cemerlang.
ISI
A.    Mengenali  Muda-Remaja
Kata “remaja” berasal dari kata bahasa latin yaitu “adolescere yang berarti “to grow” atau “to grow maturity” (bertumbuh dewasa).[1]Dari arti asal tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa muda-remaja merupakan masa untuk menuju pada kedewasan.Apabila difenisikan secara umum remaja merupakan  masa peralihan (transisi) antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.[2]Didalam gejolak masa transisi ini mereka ditunjukan pada suatu pilihan yang menetukan masa depan mereka.Pilihan tentang masa depan bagi mereka akan menjadi sulit apabila tidak disertai dengan Pembinaan yang dari PAK.
Pada masa transisi mereka memilki rasa untuk mencoba sesuatu yang cukup kuat.Dari motif ini mereka tidak segan-segan untuk mencoba sesuatu yang negative.Motivasi untuk mencoba sesuatu hal yang baru juga dipengatuhi oleh factor lingkungan,apalagi kalau kita amati begitu banyak budaya barat yang masuk keIndonesia.Pada dasarnya budaya yang masuk tersebut ada yang positif dan negative akan tetapi pemuda lebih cenderung mencoba sesuatu yang negative (pesta pora,clubbing,dll).Ditambah maju technologi saat ini membuat begitu cepat mereka mengenal budaya barat (baik melalui internet,TV,Radio,Film-film).Begitu berbahaya apabila mereka tidak diarahkan pada rel Tuhan.
Selain itu kehidupan remaja juga erat kaitanya dengan “having fun”,baik dalam bergaul maupun berpacaran (sampai keblabasan).Mereka beranggapan bahwa masa muda merupakan masa untuk bersenang-senang,padahal masa inilah yang menetukan masa depan remaja kedepannya.Bersenang-senang itu sah-sah saja tapi bersenang-senang yang seperti apa?Apakah bersenang-senang dalam hal yang positif atau negative.Positifpun juga harus ada takarananya,tidak terlalu over sampai lupa dengan tugas utama mereka.
Dari beberapa hal tersebut bisa kita lihat betapa pada masa transisi ini mereka memerlukan perhatian khusus terutama dari pihak orang tua dan gereja.
B.     Memahami Psikologi Muda-Remaja
Psikologi muda-remaja dinilai sangat mempengaruhi pertumbuhan kerohanian mereka.Untuk itu Pembina diharuskan mengetahui kejiwaan mereka supaya Pembina bisa membina dengan tepat.Faktor utama yang mempengaruhi psikologi mereka ialah kondisi kehidupan keluarga,lingkkungan (sekolah maupun rumah),teman,guru,dll.Pembina bisa mengatahui psikologi dengan melakukan pendekatan (mungkin dengan cara saling tukar pikiran dll).Untuk itu sangatlah penting didalam system keorganisasian pemuda ada sei.Konseling.
Selain berbagai tuntutan psikologis perkembangan diri, kita juga harus mengenal ciri-ciri khusus pada remaja, antara lain:
  1. Pertumbuhan Fisik yang sangat Cepat
  2. Emosinya tidak stabil
  3. Perkembangan Seksual sangat menonjol
Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa peralihan. Pada umumnya masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:
1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun
a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya:
  1. Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi
  2. Anak mulai bersikap kritis
b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:
  1. Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya
  2. Memperhatikan penampilan
  3. Sikapnya tidak menentu/plin-plan
  4. Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib
c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya:
  1. Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya
  2. Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria
2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun
  1. Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:
  2. perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis
  3. mulai menyadari akan realitas
  4. sikapnya mulai jelas tentang hidup
  5. mulai nampak bakat dan minatnya
 Dengan mengetahui berbagai tuntutan psikologis perkembangan remaja dan ciri-ciri usia remaja, diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya didalam Tuhan Yesus Kristus.[3]
C.     Memahami Problematika Muda-Remaja
Seperti yang telah disinggung dalam pendahuluan,bahwa pada masa transisi ini mereka diperhadapkan dengan suatu masalah-masalah.
1.      Masalah yang pertama ialah hubungan pemuda dengan orang tua (pemberontakan).
Biasa nya terjadi pemberontakan dari pihak anak terhadap orang tua.Hal ini disebabkan anak merasa dirinya tertindih oleh orang tuany,dan orang tua itu marah.Karena mereka merasa tidak lagi disegani dan dihormati seperti ketika anak masih kanak-kanak.DAlm hal ini seringkali keselahan terletak kepada orang tua,sebab biasanya orang tua sering memaksakan kehendaknya terhadap anaknya dan mereka juga kurang mengerti tentang segala psikologi anak.
2.      Timbulnya rasa kesangsian mengenai agama.
Ketika rasa ini muncul dan mereka mulai bertanya.Sebagai Pembina PAK sebaiknya,janganlah menindas/mendiamkan soal-soal yang lahir dalam pikiran dan batin mereka.Kendatipun terkadang membuat terkejut,Pembina tetap harus berusaha menjawab da nmembicarakannya dengan jujur.
3.      Dorangan gairah sex remaja
Masalah ini merupakan masalah dan perjuangan yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan kaum pemuda.Hendaknya Pembina menerangkan kepada mereka bahwa dorongan daya kelamin itu telah ditanam kedalam hidup manusia oleh Tuhan sendiri.Tuhan menghendaki supaya kita menggunakan dorongan dan daya yang sangat kuat itu bukan bagi kesenangan kita sendiri,melainkan sesuai dengan maksud yang mulia yang ditentukan oleh Tuhan bagi perhubungan kedua jenis kelamin kedalam dunia ini.[4]
4.      Idealisme muda-remaja
Idealisme merupakan suatu pemikiran yang beranggapan dirinyalah yang paling benar tanpa menghiraukan orang lain.Idealisme merupakan ajaran dari filsuf Plato yang mengetengahkan dalam segala sesuatu hanyalah konsep.
5.      Pencarian indentitas diri
Untuk mengetahui arah kedepannya muda-remaja haruslah mengetaui identitas diri.TApi hal itu tidak mudah bagi mereka.Karena seringkali pengalaman-pengalaman dan tekanan-tekanan dari lingkungan,para remaja  merasa rendah dir.Apabila menghadapi hal yang demikian Pembina dan orang tua sebaikanya mengusahakan hal-hal berikut :
·         Menyadarkan mereka,bahwa keinginan-keinginan belaka,tanpa usaha-usaha yang penuh ketekunan,adalah sia-sia.
·         Tonjolkanlah kelebihan-kelebihan yang terlihat yang dimiliki mereka,agar dia berusaha melupakan kelemahan-kelemahan,dan selanjutnya bertumpu pada kelebihan tersebut.[5]
6.      Penggunaan uang
Dalam penggunaan uang,bisa dikatakan boros (membeli sesuatu yang sebenarnya kurang berguna bagi mereka).Meraka sering kali meluipakan perpuluhan karena mungkin konsep mereka orang memberi perpuluhan haruslah yang sudah bekerja.Dan dalm hal ini Pembina haruslah menjelaskan arti dari perpuluhan dan menyadarkan mereka bahwa mereka mendapat uang saku itu adalah berkat dari Tuhan.
7.      Dorongan untuk mandiri (berkerja).
Dalam kehidupan yang beranjak dewasa terkadang remaja memiliki dorongan untuk bekerja (meringankan beban orang tua).Dorongan ini akan menjadi baik  apabila diberikan arahan yang tepat dari orang tua,bahwa prioritas utama remaja bukan bekerja.Namun dorongan yang positif ini akan menjadi tnegatif apabila remaja lupa akan tanggung jawab awalnya (sekolah).Disini PAK remaja pemuda sangat berperan untuk mengarahkan mereka supaya tetap seimbang dalam menjalani bekerja dan sekolah.Kasus ini biasanya dialami bagi mereka yang kekurangan ekonomi.
D.    Menyiapkan metode yang efektif
Pada dasarnya metode itu bersifat fleksibel tidak kaku.Karena dalam penggunan metode Pembina haruslah disesuaikan dengan konteks yang ada.Dalam PAK metode adalah suatu pelayangan,suatu pekerjaan yang efektif yan gdilakukan bagi Firman Tuhan dan bagi sesame,supaya kedua pihak itu bertemu satu sama lainya.Metode hanya merupakan jalan da nalat saja,bukan tujuan.Pembinaan harus selalu menuju kepada maksud Firman Tuhan;tak boleh menggunakan metodehanya untuk mendapat hasil sukses secara duniawi(bagi diri pribadi).[6]
Intinya metode merupakan sarana untuk mengemas Firman Tuhan secara menarik supaya bisa dimengerti dan dilakukan oleh audience. Beberapa metode yang bisa digunakan dalam pembninaan pemuda :
1.      Metode ceramah
Metode ini biasanya digunakan dalam seminar,kelas-kelas,khotbah,dll.Metode ini digunakan untuk mempersingkat waktu dalam penyampaian pesan terhadap audiens dalam jumlah yang besar.Metode memiliki kelamahan karena dalam metode ini kemungkinan untuk terjadi feedback sangatlah kecil.Jadi untuk mengevaluasi apakah audien mengerti apa yang telah disampaikan sangatlah susah dan butuh waktu yang tidak singkat.
2.      Metode percakapan / diskusi
Metode diskusi atau percakapan merupakan metode yang efektif apabila dilakukan dalam  jumlah yang kecil (max 10-12 orang) dan dipimpin oleh pembina yang kreatif dan menguasai materi.Perlu diperhatikan bahwa pemimpin diskusi harus bisa mengandalikan suasana diskusi,jangan hanya satu orang yang menguasi diskusi itu atau diskusi menjadi sebuah perdebatan yang sengit.Dalam hal ini Pembina juga bisa mengenal muda-remaja yang dibina dengan lebih jelas.Melalui metode muda-remaja yang sedang mencari identitas dirinya bisa menemukannya melalui diskusi-diskusi.Karena dengan berdiskusi mereka bisa menumbuhkan rasa kepercayaan dirinya.
3.      Metode penyelidikan
Muda-remaja yang terkadang timnul suatu kesangsian  tentang Firman Tuhan,akan tertarik untuk meniliti supaya mereka menemukan kebenaran yang sejati.diharapkan setelah mengerti kebenaran yang ada mereka bisa berubah dan bertumbuh didalam Tuhan.Dalam metode ini Pembina harus benar-benar memahami materi dan sudah bisa menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Metode audio-visual[7]
Metode ini menjadi trend dan begitu menarik perhatian para remaja  pada masa kini didalam suatu ibadah-ibadah.kendalanya ialah alat-alat pendukung tidaklah murah,tetapi bisa diantisipasi dengan gambar-gambar (mungkin melalui OHP ,dll).Dalam metode ini Pembina haruslah kreatif dan teliti dalam memilih gambar-gambar atau bahkan film yang akan dugunakan.Dan dalam penyampainya sebaiknya disertai denga percakapan dari Pembina.Melalui metode ini penyampaian Firman Tuhan kepada audiens lebih mudah untuk dimengerti.Metode ini juga fleksibel dalam penerapanya bisa dalam komunitas kecil amupun besar.
5.      Metode games
Sebagian besar muda-remaja memiliki antuas yang tinggi kalau mendengar yang namanya games yang seru dan menantang.Tapi bukan berarti semua games itu gharus penuh dengan tantangan ada juga games yang mengasah otak.Dalam metode ini membakar adrenalin remaja dengan tantangan-tantangan yang seru atau bagi yang tidak terlalu suka dengan tantangan bisa dialihkan dengan game yang mengasah otak.LEbih menarik lgi apabila keduanya bisa dipadukan.Dalam menciptakan games Pembina diharuskan mengatahui audiens yang akan mengitkut,sehingga ketika game dilakukan semua pemuda bisa ikut telibat.Game ini biasanya bersifat kelompok yang membutuhkan kerja sama. Tujuan dari game kelompok ialah mengikis idealisme pemuda,supaya ,mereka sadar bahwa mereka hidup berdampingan da nsaling memerlukan.
6.      Metode Drama
Ini merupakan suatu metode yang cukup menarik bagi remaja-pemuda,tapi bias juga membuat bingung mereka.Maka untuk penggunaan metode ini Pembina haruslah mengenal audiens (kemampuan daya tangkapnya).Disamping menarik metode ini juga bias menjadi ajang bagi mereka yang suka teater untuk melatih dirinya.
            Dari beberapa metode ini Pembina bisa memilih dan mengembangkan atau bahkan membuat metode yang lebih menarik lagi.Akan jangan lupa dalam menggunakan metode Pembina harus melihat konteks yang ada.Dalam menerapkan suatu metode untuk menyampaikan pesan Firman Tuhan sangatlah diperlukan yang namnya evaluasi,sehingga bisa mengemas Firma Tuhan dengan pas sesuai dengan yang dibutuhkan muda-remaja.

KESIMPULAN

            Dari keseluruhan yang telah ditullis penulis,penulis membuat kesimpulan bahwa dalam membina muda-remaja diperlukan langkah-langkah yang pas.Karena muda-remaja merupakan suatu masa transisi dari kanak-kanak menuju masa kedewasaan yang sejati didalam Tuhan.Dimana kalalu melalui langkah-langkah yang tepat akan sangatlah sulit mengarahkan mereka.Seperti yang telah penulis tuliskan bahwa langkah-langkah itu ialah Mengenali  Muda-Remaja, Memahami Psikologi Muda-Remaja, Memahami Problematika Muda-Remaja, Menyiapkan metode yang efektif,Evaluasi.Tapi juag jangalah lupa Pembina pun haruslah yang berkarakter baik,berpengatuhan Luas,mengimani ALkitab sebagai Firman Allah.


[4] Homrighausen E.G da nEnklaar.I.H,Pendidikan Agama Kristen,penerbitPT BPK Gunung Mulia,cetakan ke-19 :2005,hal 141-144
[5] Prof.DR.Soekanto Soerjono,SH,MA,REmaja da nmasalah-masalah-nya,penerbit kanisius dengan PT BPK Gunung Mulia,cetakan ke9 : 1989,hal 77
[6] Homrighausen E.G da nEnklaar.I.H,Pendidikan Agama Kristen,penerbitPT BPK Gunung Mulia,cetakan ke-19 :2005,hal 74

[7] Homrighausen E.G da nEnklaar.I.H,Pendidikan Agama Kristen,penerbitPT BPK Gunung Mulia,cetakan ke-19 :2005,hal 81-83